1 SYAWAL 1434H

Selamat Hari Raya Idul Fitri 1 SYAWAL 1434 H "MINAL AIDZIN WAL FAIDZIN MOHON MAAF LAHIR DAN BATHIN"

Selasa, 18 Oktober 2011

Berita Jogja : Tanah SG dan PAG

Yayasan HB VII Menolak
Tegaskan Tanah SG Milik Ahli Waris, Bukan Lembaga

JOGJA
Saturday, 15 October 2011, RADARJOGJA- Keinginan Badan Pertanahan Nasional (BPN) mengukur keluasan tanah Sultan Ground (SG) dan Pakualaman Ground (PAG) terus dipersoalkan. Setelah ditolak Gubernur DIJ Hamengku Buwono X karena dikhawatirkan hanya akan mengulur waktu pengesahan RUUK menjadi UUK DIJ, sikap kritis menyikapi itu juga disampaikan Yayasan Trah Hamengku Buwono (HB) VII.
Yayasan yang menaungi ahli waris keturunan HB VII itu menganggap bahwa pengukuran tanah SG itu tidak dibutuhkan. Berbeda dengan argumentasi HB X, Yayasan HB VII berpendapat tanah SG tidak perlu diukur karena bukan milik lembaga keraton.
“Pemilik tanah SG adalah ahli waris keturunan HB VII,” ujar Wakil Ketua Yayasan HB VII RM Triyanto Prastowo kemarin (14/10).
Triyanto pun bercerita tentang landasan hukum yang menyatakan tanah SG merupakan tanah pribadi milik HB VII. Itu tertuang dalam Rijkblaad No 16 Tahun 1918 yang dikeluarkan di masa kepemimpinan HB VII.
Berdasarkan undang-undang Kasultanan Jogja itu, tanah SG merupakan tanah milik pribadi HB VII. “Tidak pernah ada yang menyebutkan menjadi milik lembaga keraton,” katanya. Demikian pula dengan tanah PAG diatur dalam Rijkblaad No 18 Tahun 1918.
Karena itu, Triyanto yang terhitung masih cucu canggah HB VII itu mengatakan, menjadi pertanyaan bila kemudian tanah-tanah SG itu hendak diklaim milik keraton dan masuk dalam UU Keistimewaan DIJ.
“Pertanyaannya, apa dasar hukumnya,” gugat keponakan KRAy Hastungkoro, istri ketiga HB IX atau ibunda GBPH Prabukusumo ini.
Pria yang mengajukan pensiun dini dari dinas Polri itu menambahkan, tanah SG dan PAG telah diserobot secara sepihak oleh Pemprov DIJ. Penyerobotan itu dilakukan dengan terbitnya Perda No 5 Tahun 1954. Dalam perda tersebut menyatakan bahwa tanah SG dan PAG telah dinyatakan sebagai tanah milik pemprov.
Aksi penyerobotan itu, imbuh Triyanto, terus berlanjut hingga sekarang. Bahkan sejak beberapa tahun silam, Biro Tata Pemerintahan Setprov DIJ selalu melalukan program pengukuran tanah-tanah SG dan PAG. “Kenapa sekarang mau diukur lagi. Kemana hasil pengukuran Biro Tata Pemerintahan itu?,” tanyanya.
Menyikapi itu, Yayasan Trah HB VII tak ingin tinggal diam. Triyanto bersama pengurus yayasan lainnya segera mengajukan upaya hukum. Ia juga mengungkapkan, selain masih keturunan HB VII, dirinya juga punya garis darah dari HB II. Dari garis ayahnya merupakan keturunan Pangeran Mangkudiningrat, putra HB III.
HB II merupakan satu-satunya raja yang namanya disebutkan dalam Perjanjian Giyanti sebagai pewaris atas tahta Keraton Jogja pasca HB I. Perjanjian Giyanti membagi Kerajaan Mataram menjadi dua, Surakarta dan Jogjakarta.
“Jadi, ada dua darah raja yang mengalir ke saya yakni HB II dan HB VII,” ucap pria yang tinggal di daerah Magangan Keraton Jogja ini.
Dalam kesempatan itu, Triyanto juga mengaku telah mendapatkan kuasa untuk menelusuri tanah-tanah PAG dari putra PA VIII KPH Anglingkusumo. Tanah PAG yang akan diteliti itu antara lain yang berada di pesisir Pantai Selatan Kulonprogo yang sekarang menjadi sengketa karena menjadi lahan penambangan pasir besi.
Di sisi lain, perlu tidaknya keluasan tanah Sultan Ground (SG) dan Pakualaman Ground (PAG) diukur sebelum masuk dalam UU Keistimewaan DIJ terus menjadi perdebatan.
Direktur Pusat Konsultasi Bantuan Hukum (PKBH) Universitas Ahmad Dahlan Heniy Astiyanto SH menilai yang dibutuhkan dalam pengaturan soal SG dan PAG adalah norma yang dituangkan dalam UU Keistimewaan DIJ.
“Lebih penting masalah norma. Bukan soal ukuran atau keluasan tanah,” ujar Heniy.
Menurut Heniy, soal ukuran atau detil keluasan SG dan PAG tidak harus dituangkan dalam UU Keistimewaan DIJ. Masalah itu cukup diatur lebih lanjut dalam peraturan pelaksana. Misalnya dalam peraturan pemerintah atau peraturan presiden. “Akan lebih simpel,” terangnya.
Lebih jauh dikatakan, keberadaan UU Keistimewaan DIJ akan lebih baik bila mengatur tentang kepastian hukum atas pemanfaatan tanah SG dan PAG yang selama ini dilakukan oleh masyarakat.
Pengelolaan tanah SG dan PAG oleh masyarakat itu perlu ada payung hukum yang jelas. Saat ini, lanjut Heniy, banyak warga masyarakat yang menguasai dan mengelola tanah SG dan PAG namun tidak memiliki alas hukum yang jelas. “Hak kelola oleh masyarakat itu juga saatnya diatur,” harapnya.
Heniy juga menyoal adanya tanah-tanah SG dan PAG yang telantar karena belum banyak dimanfaatkan. Tanah yang telantar itu juga harus diatur agar tidak menimbulkan masalah di belakang hari. (kus)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar